Thursday, January 31, 2008

Memandang Pak Harto dari Luar

Memandang Pak Harto dari Luar

Berita meninggalnya Pak Harto betul-betul menjadi headline, bukan hanya di Indonesia namun juga di luar negeri. Kalau kit abaca pada beberapa situs Koran seperti Washington Post, New York Post, atau Yahoo, semua mengulas dan hampir sama beritanya. Pada intinya mereka menuliskan Pak Harto yang menjadi diktator selama 32 tahun. Semua seirama, memang sudah irama dunia saat ini, siapa bisa mengatur?

Yang menarik adalah dari perbincangan serius dengan rekan-rekan yang mendalami hubungan internasional, strategis maupun sejarah. Pernyataan yang mereka keluarkan bisa berbeda. Secara strategis, diakui pak Harto sangat peka membaca tanda-tanda zaman, paling tidak mulai ‘65 hingga berakhirnya perang dingin. Setelah perang dingin selesai, dan agenda dunia berubah, Pak Harto karena terlena oleh keberhasilan pembangunan Indonesia, kurang peka melihat arah angin bertiup. Hal ini tampak manakala Madeline Albright selaku Dubes AS di PBB sekitar tahun 1991 mulai melancarkan tema baru yaitu demokratisasi dan pasar bebas dalam suatu ceramah di Austria, hingga kunjungan Clinton di Bogor 1994 untuk acara APEC. Tema itulah yang selanjutnya menjadi acuan seluruh dunia, baik berlangsung secara damai atau kekerasan. Damai artinya proses demokratisasi berjalan mulus, setengah mulus, hingga perang untuk melengserkan penguasa yang dianggap durjana. Ingat kasus Bosnia, Somalia, Kamboja hingga Irak dan Afganistan?

Ada suatu keyakinan yang sangat mendalam di dalam diri para pemimpin barat, bahwa hanya demorasi yang bisa menyelamatkan dunia dari kekacauan (demokrasi liberal ), selain itu hanya pasar bebas yang bisa mengatur ekonomi dunia, bukan sosial atau pasar dengan campur tangan negara. Ini semua bersumber dari thesis Francis Fukuyama dalam bukunya yang monumental, the end of history, dan menjadi Bible baru bagi para penguasa. Banyak yang tidak setuju dengan pandangan itu, namun apa daya, semua harus menyesuaikan dengan irama dunia. Salah satu yang konsisten menentang pandangan itu adalah Hernando de Soto, ahli ekonomi dari Peru, dengan pandangan ekonominya yang agak nyeleneh. Bukunya yang terkenal The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. Karena kegigihannya, akhirnya beberapa konsep de Soto diterima di berbagai dunia dan termasuk juga dikagumi para pimpinan negara.

Pak Harto yang memandang dunia dengan kacamata perang dingin sudah tak sesuai untuk memimpin. Maka mulailah berbagai gelombang gejolak muncul di Indonesia. Keberhasilan reformasi di Indonesia, hendaknya juga dilihat dari konstelasi dunia yang ada saat itu. Jadi, menurut pandangan teman-teman dalam diskusi di luar, kejatuhan pak Harto bukan hanya karena dunia luar menganggap sudah tak sesuai, namun juga karena keberhasilan yang diciptakan dalam pendidikan dan ekonomi memang menuntut suatu keadaan yang sudah tak dapat diberikan lagi oleh pak Harto. Kata mereka, the victim of his own success.

Jadi, sangat penting untuk diingat bahwa setiap pemimpin ada jamannya dan setiap jaman ada pemimpinnya. Selamat jalan Pak Harto.

No comments: