Thursday, January 31, 2008

Keindahan Bromo

Keindahan Bromo

Udara masih sangat pagi ketika aku mulai bergerak menuju ke Gunung Bromo.

Semalam tidur di Sukapura, sebuah kota kecil di lereng Gunung Bromo yang merupakan pilihan terbaik bagi saya daripada bermalam di Bromo itu sendiri. Suasana gelap sama saja ketika semalam datang sekitar jam 11 dan menentukan titik “meluruskan pinggang” setelah perjalanan panjang dari Solo. Keterbatasan waktu dan keinginan menggebu membuatku mengambil putusan ini.

Mendaki gunung merupakan salah satu impian sejak SMA, namun karena berbagai keterbatasan, aku tak pernah berhasil mewujudkan keinginan mendaki Bromo. Jarak terjauh yang pernah didatangi di sekitar lokasi ini hanya di Semeru, itupun gagal karena badai pasir yang melanda diiringi hujan saat itu di tahun 1978, memaksa kami kembali. Banyak penyesalan menggumpal, karena saat itu berjalan kaki dari Gubug Klakah, menuju Ranu Pane sungguh perjuangan berat. Beberapa orang yang kaya bisa naik Jeep atau menyewa truk, tapi bagi kami pelajar SMA yang ke Malang saja naik KA tanpa bayar kecuali kucing-kucingan dengan petugas, menyewa Jeep atau truk jelas tak ada dalam agenda kami. Perjalanan lanjutan sudah ke Ranu Gumbolo,…wah, pasir sudah mulai tampak di mana-mana dan hujan benar benar tak bersahabat. Ingat adik Arief Budiman, Yap Hong Gie atau siapa lupa, yang meninggal dalam pendakian ini, akhirnya kami putuskan untuk kembali

Gunung-gunung di Jawa Tengah sudah cukup familiar bagiku, dan beberapa sudah pernah didaki. Nah sekarang di Bromo, katanya sih bisa naik mobil sampai puncak. Sesuai deh dengan umur yang sudah bukan ABG lagi, cocok untukku. Perjalanan mendaki dan mulai meliuk-liuk. Mobil 4WD yang kami tumpangi masih terus melaju hingga melewati kampung tertinggi. Saat itu, samar-samar dalam kabut pagi, Bromo telah terlihat diantara hamparan pasir menyeruak puncak gunung terkenal tersebut. Di ujung batas langit, di kaki gunung, sangat samar terlihat Pura seperti yang biasa kita saksikan di Bali.

Mengingat mobil ini pinjaman teman, maka aku putuskan meninggalkan saja di ujung jalan aspal, dan mulailah berjalan menuju ke puncak Bromo. Sebenarnya dari ujung jalan ada yang menawari naik jeep juga, namun aku putuskan jalan kaki menikmati udara pagi yang hmmm, dramatis….Ternyata, pandangan bukanlah jarak, karena keringat mulai menetes di baju dan membakar lemak tubuh. Teringat masa lalu sewaktu SMA, I am not as strong as I used to be. Begitu mendekati kaki gunung, napas sudah tinggal satu-satu. Untungnya ada penjual the botol dan sejenisnya…luar biasa, kapan mereka datang..?alkisah, minumlah sebotol penuh dan tarik napas, serta bismillah, naik lagi menuju ke puncak…

Pertama, jalan berpasir mendatar, lalu jalan itu habis disambung dengan jalan setapak naik. Jalan naik ke puncak gunung kali ini sungguh unik. Di sepanjang jalan, ada pegangan dari beton dan besi untuk membantu kita karena naiknya benar-benar terjal dan membahayakan. Setapak demi setapak mencoba menyusuri tangga beton sambil sesekali berhenti mengatur napas, akhirnya kami sampai di Puncak Bromo. Hmmmm suatu pemandangan yang sangat mengasyikkan, suatu kebesaran Tuhan yang hampir terlupakan. Sejauh mata memandang tampak dataran yang lebih rendah, gunung-gunung lain atau perbukitan, sementara di sisi yang lain, kawah menganga siap menelan siapa saja yang tak waspada.

Kesan akhir setelah turun dari puncak hanya satu, kenapa kita tak bisa mengolah ini menjadi suatu tujuan wisata yang handal? Suasana di sepanjang jalan dari jalan raya Pasuruan- Probolinggo menuju Bromo sangat mendukung, Sukapura bahkan banyak menginspirasi Leo Kristi dalam mencipta lagu. Barangkali kemudahan transportasi, akomodasi dan tontonan yang dipertunjukkan masyarakat bila diatur dengan baik bisa merupakan asset utama Jatim menyaingi Bali.

No comments: