Wednesday, January 24, 2007

POPULIS VS OTORITER


Minggu, 8 September 2002 ASAL USUL Otoriterianisme Populis Mohamad Sobary SEEKOR anjing yang memohon keadilan pada Tuhan karena dipukul dengan tongkat oleh seorang sufi, secara moral bisa bikin heboh. Reaksi spontan kita bisa bersifat populis, dan diam-diam memihak si anjing. Tapi, setelah Tuhan menyelidiki kasus ini, ternyata si anjing memiliki kesalahan ganda. Pertama, bahwa anjing itu dipukul karena ia menggigit ujung jubah sang sufi dan merobekkannya. Kedua, si anjing tak mau dipukul karena sebagai rohaniwan, sang sufi yang sangat humanis mestinya tak usah marah. Ada tuntutan moral, bahwa sufi tak boleh marah. Maka, si anjing pun "menjual" gagasan populisnya kepada Tuhan, dan mohon keadilan karena ia tak berdaya. Kisah sufi ini pernah saya kutip beberapa tahun lalu, tapi kali ini saya menampilkannya kembali karena ia bukan sekadar memperkaya moralitas kita, melainkan juga mempertajam analisis ilmiah kita terhadap gejala hidup. Bagi saya ia merupakan cerminan teori "blaming the victim" (menyalahkan sang korban), yang sering tampil dalam bentuk pemutarbalikan fakta: si penindas melapor sebagai si tertindas. Di sini sikap maling teriak maling. Inilah wujud "otoriterianisme populis", sebuah watak keji, dan culas, yang lebih berbahaya daripada gigitan anjing gila. Semangat populis, yaitu pembelaan terhadap kepentingan pihak yang teraniaya, dan tak berdaya, terutama mayoritas yang tertindas dan diam, sudah jelas sangat penting bagi kita. Saya bersedia membela perjuangan di bidang itu. Namun, bila semangat dan jiwa, atau watak populis itu diwarnai sikap otoriter, tentu saja tidak menarik. Ia bibit perilaku sosial-politik yang langsung menusuk ulu hati demokratisasi. Dan mungkin bisa mematikannya karena terhadap kata itu orang sudah bersikap skeptis sejak "ibaratnya" konsep itu masih dalam kandungan. Apalagi bila ia tampil dalam bungkusan populisme yang terang-terangan palsu, yang mengkhianati proses demokratisasi tadi. Dilihat secara normatif, saya bisa merasakan rumitnya dilema moral seorang sufi yang memukul anjing. Tapi dari segi analisis sosial, diperkuat dengan penjelasan mengenai watak culas dan kepalsuan si anjing yang sok populis tadi, apa boleh buat saya harus mengambil posisi membela sang sufi. Bagi saya, dialah, dan bukan si anjing, yang tertindas, dan teraniaya. Si anjing, mungkin simbol orang yang dengki pada sang sufi, yang sengaja memfitnah, dan mengoyak-ngoyak jubah kejujuran dan ketulusan sufi tersebut. Jubah dalam kisah ini bukan cuma sepotong kain lusuh melainkan kehormatan yang merupakan nilai sentral dalam hidup sang sufi. Maka, saya kira, ia sengaja tak enggan mengambil risiko dikecam komunitas kaum rohaniwan, atau publik yang lebih luas lagi, sebab ia merasa sedang bicara perkara kebenaran yang tak buta, dan tak pernah tidur. Baginya, kebenaran selalu melambai-lambai, minta diperjuangkan dengan gigih, dengan segenap risiko. Sufi menolak bicara kepalsuan. Otoriterianisme populis, sekali lagi, bungkusnya tampak seperti pemihakan pada teori atau ideologi populis, membela kepentingan kelompok tertindas, tapi di dalamnya ada kepalsuan dan manipulasi. Di sana kepentingan pribadi memanipulasi gagasan populis untuk meraih pemihakan emosional. Ia bisa menyusup di organisasi, bisa juga pada kelompok yang lebih mengedepankan amarah, dan kekecewaan akibat ketimpangan sosial di masyarakat. Sebagai watak, gagasan otoriterianisme populis sudah menggejala sejak lama. Kita tahu, bila sebuah mobil menyenggol sepeda motor, becak atau bajaj, dan mobil itu mewah --apalagi pemiliknya Cina-- maka hancurlah pemilik mobil itu meskipun bukan dia yang salah. Ini hukum liar kita. Di zaman reformasi ini, sikap otoriter berkembang di masyarakat kita. Apa yang dianggap kepentingan "masyarakat", "orang banyak", "publik", "serikat", "himpunan" atau "asosiasi", selalu disetengahsucikan, dan dianggap tak mungkin salah. Kita diam-diam mengklaim kebenaran mutlak di tangan kita. Sikap ini lahir setelah reformasi berkembang dalam masyarakat. Ini gejala penting yang menjelaskan bahwa pada sebagian dari kita, sebagai bangsa, masih tetap mengidap secara akut gelaja psiko-patologi yang tampil dalam bentuk mentalitas orang terjajah. Kita dijangkiti penyakit ketidakmampuan membebaskan diri dari keterjajahan kultural maupun politik di masa lalu. Kita tak mampu mengembangkan diri menjadi manusia merdeka, dan bebas dari dengki, dan dendam. Tampaknya memang sulit mengembangkan sikap damai sekarang. Bahkan sekadar damai dengan diri sendiri sekalipun. Ini, sekali lagi, gejala psiko-patologi politik yang membahayakan. Sekarang muncul di mana-mana aneka macam organisasi yang menempatkan rakyat, hak-hak rakyat, pemberdayaan rakyat, perwakilan rakyat dan sikap membela gagasan populis lainnya, pada inti perjuangan mereka. Maka kita harus bikin pemetaan (mapping) untuk mengidentifikasi, mana yang sehat secara sosial-politik, mana yang tidak, mana yang murni dan mana yang sekadar cuma menjadi kendaraan politik penggeraknya. Di daerah-daerah, kita tahu, sekarang orang mengeluh terhadap sikap otoriter yang mengenakan jubah populis tadi. Otoriterianisme populis ibarat anjing gila yang berkeliaran ke mana-mana. Ia sudah mencelakakan banyak pihak. Saya pun telah merasakan gigitannya yang sungguh berbisa. Maka, bila harus memilih, jelas saya memilih menjadi sufi yang memukul anjing daripada menjadi anjing yang memfitnah dan memperkarakan sang sufi pada Tuhan. *

No comments: