Wednesday, January 24, 2007


From: "Jero Martani"
Date: Wed, 5 Apr 2006 11:53:18 -0700 (PDT)
Subject: [Paranormal] Merasa Bisa Tapi Tidak Bisa
Merasa

Nggugu karsane priyangga, Nora nganggo paparah lamung
angling, Lumuh ingaran balilu, Uger guru aleman,
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu, Sinamun ing
samudana, Sesadon ingadu manis


Menuruti keinginan pribadi, Bila berbicara tanpa
dipikir lebih dahulu, Tak mau disebut bodoh, Asal
dipuji dan disanjung, Tetapi manusia telah paham akan
pertanda, Yang ditutupi dengan kepura-puraan,
Ditampilkan dengan manis


[Pangkur #3, Serat Wedhatama]


---oOo---
Merasa Bisa Tapi Tidak Bisa Merasa

---oOo---
Alangkah miris mendengar wakil rakyat, yang merasa
mendapat amanat, ketika ada dengar pendapat, pimpinan
TNI-pun dihujat, tanpa rasa hormat. Bicara tanpa
dipikir lebih dahulu, angkatan katanya ada empat,
KSAD, KSAU, KSAL dan KASAN. Hilang sudah kaidah-kaidah
rukun dan rasa hormat yang selama ini kita pegang
erat. Biarlah dia begitu, sebentar lagi kita saksikan
kekuatan hukum karma, walau wakil rakyat sekalipun tak
akan kebal darinya. Akan ada wakil rakyat, yang
diterkam ’harimau’ karena mulutnya.


Ada juga insan yang lain, sangat bernapsu memimpin
negara, mata gelap, sering ambil kesempatan dalam
kesempitan. Mendompleng kerumunan mahasiswa,
ditokohkan sebagai reformisi, padahal cuma punya ilmu
katak, injek yang dibawah, sikut kiri dan kanan agar
kepala sendiri yang nonjol ke atas. Penikam kawan
seiring, penggunting dalam lipatan. Bicaranya lugas
selalu jadi headline, kritiknya tegas, bicara minim
sikap rukun dan rasa hormat, mulut miring hidung
membesar, hanya wacana belaka, ketika jadi pejabat,
hanya masalah yang mencuat. Karena dia selalu merasa
bisa tapi tidak bisa merasa, Arep MimpIN Negoro oRA
Iso.


Ada juga bekas petinggi yang bicara tanpa aturan dan
data yang akurat, ketika di debat malah bingung,
terpaksa minta maaf di media masa. Dulu kerja jadi
pengamat, bicara lantang tentang konglomerat, terus
jadi menteri dengan presiden pun dekat, apa hasil
kerjanya hebat ? Tak satupun konglomerat yang
terjerat, malah koruptor tambah nekat,
pejabat-pejabatpun tambah bejat. Diujung akhir jadi
pejabat, eh... malah jadi pengkhianat, nempel presiden
baru ingin cari selamat, plintat-plintut amat.
Sekarang mulai lagi berlagak hebat, menulis kolumnis
di koran penghujat, seolah atas nama rakyat, padahal
hanya untuk dikatakan hebat, mestinya karir orang
seperti ini tamat. Ayo kita tonton, karma apa yang
akan didapat si orang berlagak hebat ?


Kutuk keris Mpu Gandring masih ada tuahnya sampai
sekarang. Pergantian kekuasaan selalu berlumuran
darah. G30S-PKI, mahasiswa trisakti, timor-timur ada
tragedi, lalu ada foto janda dan kiai – ”karakter yang
mati”. Lalu yang terakhir ini, dikenal dengan lakon
tinggal gelanggang colong playu, meninggalkan
gelanggang perang untuk mengejar peluang. Jangankan
pejabat tinggi, buruh pun ada aturannya keluar dari
perusahaan, perlu waktu 1 bulan pemberitahuan, apalagi
ini urusan bangsa dan negara.

Kalau di sinetron, cerita khianat dipulas jadi lakon
balada untuk raih suara. Walau taktik tak dilihat
rakyat, namun Alam sudah bergerak menjerat sang cacat,
tsunami, longsor, banjir, pagebluk demam berdarah, flu
burung, menambah berat ujian untuk rakyat. Hukum karma
bekerja dengan akurat, sang pengkhianat dikelilingi
para penjilat, dan akan saling berkhianat walau sudah
tanda tangan surat waktu diminta untuk menjabat. Sudah
merasa dibantu penjilat dan ada pengkhianat, bikin
keputusan selalu telat dan kurang cermat.


Ada juga cerita tentang Hakim yang nekat, ingin lebih
lama menjabat, memperpanjang masa tugas hanya melalui
rapat. Keadilan dipermainkan oleh orang yang kuat,
tanpa malu, transaksi duit berikat-ikat, di dalam
kantor megah yang mestinya terhormat. Capek sudah
orang bicara, walau sudah tua, bagai sepahan tebu
hilang manisnya, kalau sudah tak memiliki rasa, inilah
hasilnya. Karena tak mampu berbuat apa-apa, saya hanya
bisa berdoa, agar masih bisa melihat, azab apa yang
datang untuknya. Dengan demikian bisa bercerita kepada
anak cucu, bahwa ada hukum karma yang tak pernah
tidur, walau hakim agung akan dijerat karena bejat.


---oOo---


Trias politica, Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif
sudah rusak dan sulit dipercaya. Negara laksana insan
hidup, ada saatnya lahir, dewasa dan akhirnya sekarat
lalu mati.Krisis Legitimasi – ketidak percayaan
terhadap lembaga negara makin menjadi-jadi, akan
meruntuhkan dengan lebih cepat sendi-sendi negara.


Krisis ekonomi masih melekat, krisis politik tak
pernah tamat, krisis legitimasi sudah menjerat. Sumber
daya terkahir yaitu sosio-cultural telah hancur
terpecah belah. Keadaan serba salah, sekuat apapun
keinginan untuk mengendalikan, akan terseret derasnya
jaman. Mau orde lama, orde baru, orde reformasi dan
sekarang orde pemilihan langsung, bukannya negara
tambah maju dan terhormat, malahan rakyat terjerat
makin melarat.


Krisis motivasi sudah diambang pintu. Gairah kerja
terus menurun, sekeras-keras rakyat bekerja hasilnya
tak seberapa. Dagang tak dapat untung yang layak.
Malah takut jadi pejabat – salah-salah bisa terjerat.
Ulama terjebak kuasa duniawi, tak lagi obyektif
membimbing umatNya, terbelah jadi ”telor” dan ”tahi”
nya. Korelasi minim antara hasil pendidikan dan
pekerjaan. Setinggi-tinggi menuntut ilmu kalah
akhirnya kalah dengan anak pejabat yang kerjanya
rantang-runtung jadi pembalap. Tender dimenangkan
penjahat yang berkonspirasi dengan pejabat. Kompetensi
dan kapabilitas tidak jadi faktor penentu
keberhasilan, karena tak keadilan dalam perekonomian,
makin rusak sektor riil, ditambah murahnya produk
negara cina. Pengacara kaya pintar bicara, dapat
mengatur koruptor bejat bisa jadi terhormat. Wanita
hilang kehormatannya, berita selingkuh laksana tiada
akhir, tiada rasa malu, bahkan bangga dengan
dosan-dosanya.

---oOo---


Lima ratus tahun sudah berlalu, semenjak runtuhnya
majapahit – sirna hilang kertaning bhumi – terjajah
selama berabad-abad, terpuruk dinistakan oleh bangsa
lain. Tak perlu negara adi daya, negara tetangga baru
merdeka, berani menantang tanah Nusantara. Tanda dan
ciri-ciri kitab Sabda Palon dan Nayagenggong, sudah
benar semua, tinggal tanda terakhir yaitu Gunung
Merapi Meletus, Laharnya berbau amis.


Setelah meletus, Ki Butolecoyo akan datang. Berperang
tanpa balatentara, tak tersentuh walau tanpa
kesaktian, meraih kemenangan tanpa menepuk dada,
menerabas semua penghalang, menghembuskan kepercayaan
baru - agama ageming aji. Lalu menegakkan tatanan baru
masyarakat Nusantara hingga lebih dari kejayaan masa
lampau..


Mudah-mudahan masih diberi umur panjang untuk
menyaksikan momentum ini, agar dapat jadi saksi
sejarah, bagaimana hukum karma bergerak cepat, lalu
dapat bertahan di negara yang tenggelam dan kelam,
untuk kembali menyaksikan fajar menyingsing di ufuk
timur. Dengan demikian dapat menceritakan kebenaran
Hukum Karma kepada anak cucu mendatang.


Salam Hormat,

Ki Jero Martani

No comments: